Teori-Teori Pendidikan
1. Behaviorisme
Aliran behaviorisme berpendapat bahwa semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan, bukan oleh kekuatan internal. Behaviorisme berfokus pada perilaku yang dapat diamati (Sudarwan Damin, 2010:80).
Hampir sama dengan aliran empirisme. Pandangan filosofis behaviorisme adalah nature of human being (manusia tumbuh secara alami). Latar belakang yang mendasari pernyataan tersebut apabila kita pikirkan, memiliki implikasi yang jauh dan dalam, yakni “bagaimana kita tahu yang kita tahu”. Menurut paham ini, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pengalaman (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 34).
Behaviorisme menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalisme. Hal ini berarti behaviorisme melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
2. Kognitivisme
Aliran ini mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007: 88).
Teori kognitif berusaha menjelaskan, dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir, bagaimana belajar terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental internal dalam diri kita. Aliran ini lebih mementingkan “proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri”. Karena belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 50).
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Muhibbin Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak, bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
3. Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari seorang epitemolog dari Italia, yaitu Giambastissta Vico mengungkapkan, “Tuhan adalah pencipta alam semesta, dan manusia adalah tuan dari ciptaan” (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 54). Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi .
Menurut teori ini, bahwa siswa memperoleh pengetahuan karena keaktifan siswa itu sendiri. Konsep pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 56).
Tanggung jawab seorang guru adalah menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara aktif dimana peran siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/ membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi eksperimentasi. Untuk mencapai hal tersebut maka siswa harus didorong dan distimulasi untuk belajar bagi dirinya sendiri. Dengan demikian tugasnya guru adalah disamping sebagai pemberi informasi, ia juga bertindak sebagai pemberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi serta menjamin bahwa siswa menerima tanggung jawab bagi belajarnya sendiri melalui pengembangan rasa dan antusias.
Kecenderungan pola pengajaran yang dilakukan tidak lagi berorientasi pada bagaimana siswa belajar dan berfikir tetapi lebih cenderung bagaimana guru mengajar di depan kelas. Guru perlu menawarkan berbagai aktvitas belajar di dalam kelas selama proses belajar berlangsung. Tugas guru hanyalah mengamati atau mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
Berbeda dengan behaviorisme dan konstruktivisme yang memfokuskan pada proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Para siswa menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau interaksi dengan dunia. Pendekatan konstruktivis sosial juga memepertimbangkan konteks sosial yang didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial dan negosiasi dalam pembelajaran.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri . Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
4. Humanisme
Teori ini pada dasarnya memiliki tujuan belajar memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pembelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri dan si pembelajar dalam proses belajar mampu mencapai aktualisasi diri (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012:56).
Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja, karena pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa. Pendidikan humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan ( Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007:142-143). Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik. Mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Teori ini cocok untuk diterapkan pada materi yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial. Tokoh-tokoh utama dari pendidikan humanistik, antara lain adalah Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Arthur W. Combs.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari Kebutuhan jasmaniah yang paling asasi sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Diantaranya: 1) Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka munculah 2) Kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah 3) Kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah 4) Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya 5) Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu mengoptimalkan kemampuan diri untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul 6) Kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya 7) Kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Sementara itu, Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman atau signifikan). Menurutnya, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
Menjadi manusia artinya memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar, sehingga siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern, berarti belajar tentang proses (M. Sukardjo & Ukim Komarudin, 2012: 61).
Sementara itu, tokoh humanistik lainnya Arthur W. Combs menyatakan, apabila kita ingin memahami perilaku orang, kita harus mencoba memahami dunia persepsi itu. Apabila kita ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu. Combs berpandangan bahwa perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari tidak kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk mengerti tingkah laku manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya. pernyataan ini adalah salah satu dari pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan tujuan tingkah laku dari dalam (inner) yang membuat orang berbeda dari orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang penting adalah melihat dunia sebagai yang ia lihat, dan untuk menentukan bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau tentang dunianya. Combs menyatakan bahwa tingkah laku menyimpang adalah “akibat yang tidak ingin dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia harus melakukan”.











Tidak ada komentar:
Posting Komentar