Resistensi Tradisi Klasik Pesantren Di Era Modern
A. Pengertian pesantren
Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu .
Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Pesantren mampu bertahan berabad-abad karena ditopang oleh tradisi yang tumbuh di dalamnya .
B. Fenomena Tradisi klasik di pesantren di era globalisasi
Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional. Dalam upaya melakukan meningkatkan kualitas pendidikan, pesantren perlu menata kembali kurikulum pesantren.
Kurikulum pesantren yang terpaku kepada orientasi ilmu agama klasik menjadi tantangan dengan kemajuan dunia pemikiran masa kini, maka perlu adanya pengajaran dalam lingkungan pesantren yang mampu menelaah kemajuan pemikiran dan isu pemikiran yang up to date di dunia akademis. Karena pada sekarang ini, persaingan global merupakan fenomena efek domino atas laju modernitas dengan produk-produknya misalnya adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang dihasilkan dari proses penelitian-penelitian yang terbaru dan yang dilakukan dengan matang. Dampak selanjutnya dalam dunia global adalah menghasilkan dua tipikal sifat ekonomi yaitu yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghegomoni dan bertindak sebagai produsen dan tipe satunya menjadi manusia yang cenderung menjadi konsumen .
Tradisi pesantren adalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Banyak sarjana dari Barat yang melakukan penelitian terkait Islam dan pesantren, seperti Brumund, Van Den Berg, Hurgronje dan Geertz. Namun kebanyakan mereka hanya melihat dari aspek fisik bangunan dan kesederhanaan kehidupan di pesantren, kepatuhan santri kepada kyai dan pengajaran kitab klasik, tidak menyentuh ke dalam komponen khas tradisi pesantren.
Zamakhsyari menyebutkan setidaknya ada lima komponen yang menjadi corak khas dari tradisi pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri, kyai dan kitab kuning. Akan tetapi ada satu lagi yang khas dari tradisi pesantren, yaitu metoda pengajarannya, yang unik dan tidak ditemukan pada metoda pengajaran lembaga pendidikan modern masa kini.
1).Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya dalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan kyai. Dalam lingkungan pesantren terdapat pondokan untuk santri dan masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya.
Dahulu pesantren didirikan atas upaya kyai sendiri dengan membangun masjid dan pondok yang sederhana bagi murid-muridnya. Santri akan terbiasa hidup dalam kesederhanaan yang homogen sesama santri. Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman ilmunya membuat para santri berdatangan dari wilayah lain baik dekat atau jauh untuk menuntut ilmu secara teratur dan dalam waktu yang cukup lama. Sehingga mengharuskan menetap di dekat kediaman sang kyai dalam waktu yang lama.
Peran kyai terhadap santri bukan sekedar sebagai guru, melainkan juga sebagai profil ayah yang melindungi para santrinya. Kemudian terjadi sikap timbal balik rasa hormat dan tanggung jawab antara kyai dan para santrinya. Kyai juga bertanggung jawab membina dan memperbaiki akhlak murid-muridnya sehingga harus hidup berdampingan untuk memantau para muridnya.
Pondok untuk santri merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan negara-negara Muslim lainnya. Sistem pendidikan surau di Minangkabau atau Dayah di Aceh, pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanyalah namanya.
Di negeri-negeri Muslim lainnya, para ulama sebagian besar adalah penduduk kota. Para murid yang dating untuk menuntut ilmu dari para ulama, dapat menyewa tempat tinggal yang tersedia di sekitar kediaman gurunya. Misalnya di Mekah dan Madinah, yang merupakan dua kota sebagai pusat studi Islam tradisional. Para ulama mengajar murid-muridnya di Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram. Para murid yang datang dari berbagai negara, tinggal secara koloni di sekitar tempat belajar.
2).Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren, dan tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, melakukan ibadah shalat lima waktu, shalat Jumat dan pengajaran kitab-kitab klasik. Fungsi masjid sebagai pusat pendidikan merupakan warisan sistem pendidikan Islam dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak zaman Nabi Saw. masjid digunakan sebagai tempat ibadah, tempat pertemuan strategis, pusat pendidikan, administratif dan kultural.
Tradisi pesantren berupaya memelihara dan memakmurkan masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren biasanya pertama-tama juga mendirikan masjid .
Pengajaran Kitab Islam Klasik
Tujuan utama dibangunnya sistem pendidikan pesantren adalah mendidik calon-calon ulama. Para santri menetap dalam waktu yang lama untuk menguasai berbagai ilmu agama untuk menjadi ulama, yang mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat dan menguatkan aqidah umat. Pesantren kecil biasanya mengajari pembacaan Al-Quran kepada masyarakat sekitar, namun pengajaran ini bukanlah tujuan utama dari sistem pendidikan pesantren.
Dahulu mereka diberikan pengajaran kitab Islam klasik, terutama kitab-kitab fiqh yang menganut mazhhab Syafi’i dan mengembangkan kecakapannya dalam berbahasa Arab supaya dapat membaca dan mengkaji kitab-kitab Islam klasik yang berbahasa Arab. Sekarang, kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan menjadi 8 jenis pengetahuan:
(1) nahwu/sintaks dan sharaf/morfologi,
(2) ushul-fiqh,
(3) fiqh,
(4) hadits,
(5) tafsir,
(6) tauhid,
(7) tasawuf,
(8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah .
Di samping pengajaran kitab klasik, juga diajarkan kitab kuning yang banyak ditulis para ulama atau kyai pesantren yang menggunakan bahasa Jawa dan bertuliskan Arab. Kitab kuning bisa berupa terjemahan kitab klasik Islam maupun komentar terhadap kitab klasik.Bruinessen menyebutkan beberapa kitab kuning yang diajarkan di pesantren pada masa Kesultanan Mataram, yaitu taqrib (di bidang fiqh), Bidayat al-Hidaya (karya Ghazali yang membahas akhlak sufi), Asmarakandi (berbahasa Jawa dan di dalamnya berisi fiqh Asy-Syafi’i). Kitab penjelas Asmarakandi ditulis oleh An-Nawawi Banten yang dikenal kitab Qatr al-Ghayth dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Ahmad Subki dengan nama kitab Fath al-Mughith, kedua kitab ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren.
Pondok-pondok di Patani juga mengajarkan kitab-kitab klasik dan kitab-kitab Jawi (berbahasa Melayu namun menggunakan skrip Arab). Ada beberapa contoh kitab Jawi yang digunakan oleh pondok di Patani, misalnya Bayut Tun (kitab Jawi bidang fiqh dan tauhid), Panawar (kitab Jawi bidang akhlak), Mutal’ain (kitab Jawi bidang fiqh), dan Pahwaki (kitab nahwo sharf/tata bahasa Arab). Kitab-kitab klasik yang banyak digunakan seperti kitab tafsir Jalalain, kitab hadits Riyadhush Sholihin, dan kitab tafsir Nur Yahsin.
3).Santri
Santri merupakan para murid yang berdatangan dari berbagai wilayah untuk menuntut ilmu agama dari ulama. Mereka mendatangi dan belajar di pesantren dengan tujuan untuk menjadi ulama.
Menurut tradisi pesantren, santri terbagi menjadi dua golongan:Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari wilayah yang jauh dari pesantren dan menetap dalam waktu yang cukup lama untuk belajar ilmu agama dari sang kyai.Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa sekitar pesantren dan mengikuti pengajaran di pesantren dengan cara bolak-balik atau tidak menetap di pesantren.
4).Kyai
Kyai merupakan komponen yang paling esensial dalam tradisi pesantren. Seringkali kyai merupakan pendirinya maka sudah sewajarnya pertumbuhan pesantren tergantung kepada kemampuan dan pribadi sang kyai. Meskipun kebanyakan kyai tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia. Para kyai memiliki pengaruh yang sangat kuat di masyarakat, yang menjadi kekuatan penting dalam kehidupan politik. Tugas para kyai sebagai pengajar dan penganjur ajaran Islam sehingga memiliki kedudukan penting dalam masyarakat.
Islam memang memberikan kedudukan yang tinggi terhadap para ulama/kyai. Pada masa pemerintah Kolonial Belanda, para Sulthan lebih banyak fokus pada urusan politik dan urusan keagamaan diserahkan kepada para kyai. Para kyai dipercaya untuk menyelesaikan urusan-urusan muamalah seputar hak milik, pernikahan, perceraian, warisan dan hukum Islam lainnya yang terjadi di masyarakat.
Seorang kyai sebagai pemimpin sebuah pesantren harus mempersiapkan pengganti dirinya, dapat mempersiapkannya dari anak-anak lelakinya yang dididik dengan bersungguh-sungguh atau dari muridnya yang tercakap dan dinikahkan dengan putri kyai. Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon kyai harus berupaya keras melalui tahapan. Biasanya mereka adalah anggota keluarga kyai, lalu berkelana untuk menuntut ilmu agama dari satu atau beberapa pesantren. Kyai pembimbingnya terakhir akan melatihnya mendirikan pesantren, jika kyai muda dianggap berpotensi oleh gurunya.
5).Metoda pengajaran
Metoda klasik yang digunakan dalam pengajaran kitab-kitab klasik disebut sorogan dan bandongan, yaitu menerjemahkan kitab ke dalam bahasa Jawa dengan memperhatikan segi bentuk bahasa dan membahas isi ajarannya. Para kyai membaca dan menerjemahkan kitab, kemudian menjelaskan pandangan/interpretasi mengenai bahasa da nisi teks kitab tersebut.
Metoda sorogan adalah metoda pengajaran individual yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran. Seorang murid mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Al-Quran atau kitab-kitab klasik berbahasa Arab lalu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Pada gilirannya, murif mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata persis dengan yang dilakukan gurunya.
Metoda sorogan ini ditujukan supaya murid memahami baik arti dan fungsi tiap-tiap kata dalam bahasa Arab yang digunakan dalam teks kitab yang dikaji. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan dengan tepat. Murid dapat melanjutkan tambahan pelajaran berikutnya jika telah benar-benar memahami dan mendalami pelajaran sebelumnya. Metoda ini diterapkan untuk tahapan dasar, bagi santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual. Banyak murid yang gagal di tahap ini sebab diperlukan kesabaran, ketekunan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing dengan murid.
Metoda gandongan dalam bentuk halaqah secara melingkar antara 5-500 murid mendengarkan guru membaca, menerjemahkan, menerangkan Al-Quran atau kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan mengenai kata-kata atau interpretasi yang sulit. Santri senior seringkali diberi kesempatan untuk mengajar halaqah kecil dengan metoda gandongan ini. Mereka yang sudah praktik mengajar akan mendapatkan gelar ustadz muda.
Ada pula “kelas musyawarah” atau kelompok seminar, ditujukan untuk santri-santri senior atau ustadz muda. Kelas ini mengulas dalam bahasa Arab kitab-kitab klasik tingkat tinggi dengan dipandu oleh satu guru besar. Para ustadz muda yang sudah matang dengan pengalaman mengajar kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda.
Sebenarnya ada satu corak khas tradisi pesantren yang mulai menghilang yaitu santri kelana atau Abuddin Nata menyebutnya rihlah ilmiah. Di masa lampau seorang santri berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain untuk memperdalam ilmu agama dan memuaskan dahaga akan ilmu. Santri berkelana selama bertahun-tahun, tidak terikat dengan lamanya waktu, untuk mendalami kitab-kitab yang berbeda sesuai dengan kecakapan sang kyai di pesantren tempat dia belajar .
C. Ragam Solusi Saat Ini Mempertahankan Tradisi Klasik Di Pesantren
Pesantren yang sekarang ini pada umumnya telah mengalami pergeseran dari dampak modernisasi. Kyai dalam pesantren sekarang ini bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar. Dengan beraneka ragam sumber-sumber belajar baru, dan semakin tingginya dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dan sistem lainnya, maka santri belajar dari banyak sumber. Keadaan ini menyebabkan perubahan hubungan kyai dengan santri. Identitas hubungan mereka menjadi lebih terbuka dan rasional, sebaliknya kedekatan hubungan personal yang berlangsung lama terbatas dan emosional lambat laun memudar .
Begitu pula terdapat kecenderungan bahwa santri membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian atau keterampilan yang jelas, yang dapat mengantarkannya untuk menguasai lapangan kehidupan tertentu. Dalam era modern tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi juga perlu dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan dengan kebutuhan kerja. Oleh sebab itu membawa implikasi, bahwa jika dalam masa awalnya tujuan pondok pesantren adalah mendidik calon ulama. Namun sekarang, sesuai perkembangan zaman tujuan pendidikan pesantren bersifat ganda, yaitu mendidik para santri agar dapat mengembangkan dirinya menjadi “Ulama intelektual (Ulama yang menguasai pengetahuan umum), dan Intelektual ulama (sarjana, juga mengetahui pengetahuan Islam)”. Inti semua akibat dari adanya tuntutan perubahan modernisasi kelembagaan pendidikan, terutama sekali pada pesantren yang selama ini sangat akrab dengan pendekatan tradisional.
Modernisasi di dunia dakwah dan pendidikan Islam kontemporer, tidak hanya mengubah basis sosio-kultural dan pengetahuan santri semata, melainkan juga mengimbas pada umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain kultur pesantren selalu mengalami proses perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu perubahan-perubahan besar dilakukan oleh kyai terhadap lembaga-lembaga pesantren dewasa ini bukanlah merupakan pilihan alternatif yang bersilang jalan, melainkan merupakanakumulasi nilai-nilai kehidupan yang dialami pesantren sepanjang sejarahnya, tanpa meninggalkan ruh (jiwa) atau tradisi-tradisi khasnya.
Pendidikan pesantren yang merupakan perpaduan antara tradisional dan modern diharapkan mampu menjadi sarana yang efektif dalam membentuk manusia modern. Namun bagi Nurcholish Madjid ada hal yang lebih penting dalam hal itu ialah pendidikan Islam diharapkan mampu menyelesaikan masalah moral dan etika ilmu penegetahuan modern. Nurcholis Madjid menyatakan pula, bahwa modernisasi adalah rasional, progresif dan dinamis. Beliau berpedapat modernisasi adalah pengertian yang identik dengan rasionalisasi, dalam hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional) .
Pada masa sekarang ini pesantren dihadapkan pada banyak tantangan, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Dalam banyak hal, sistem dan kelembagaan pesantren telah dimodernisasi dan disesuaikan dengan tuntutan pembangunan, terutama dalam aspek kelembagaan yang secara otomatis akan mempengaruhi sistem pendidikan yang mengacu pada tujuan institusional lembaga tersebut. Selanjutnya, persoalan yang muncul adalah apakah pesantren dalam menentukan kurikulum harus melebur pada tuntutan jaman sekarang, atau justru ia harus mampu mempertahankannya sebagai ciri khas pesantren yang banyak hal justru lebih mampu mengaktualisasikan eksistensinya di tengah-tengah tuntutan masyarakat.
D. Analisis Terhadap Solusi Dalam Mempertahankan Tradisi di Pesantren
Di samping itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang harus mengadakan perubahan dan pembaharuan guna menghasilkan generasi-generasi yang tangguh, generasi yang berpengetahuan luas dengan kekuatan jiwa pesantren dan keteguhan mengembangkan pengetahuan yang tetap bersumber pada Alquran dan Hadis. Dalam perkembangan zaman, pesantren saat ini berhadapan dengan arus globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan cepatnya laju informasi dan teknologi. Karena itu, pesantren harus melakukan perubahan format, bentuk, orientasi dan metode pendidikan dengan catatan tidak sampai merubah visi, misi dan ruh pesantren itu, akan tetapi perubahan tersebut hanya pada sisi luarnya saja, sementara pada sisi dalam masih tetap dipertahankan .
Dengan demikian, pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. Keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntatan zaman. Signifikansi profesionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern .
Dalam kaitannya dengan respon keilmuan pesantren terhadap dinamika modernitas, setidaknya terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan. Keduanya merupakan upaya kultural keilmuan pesantren, sehingga paradigma keilmuannya tetap menemukan relevansinya dengan perkembangan kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelangsungan peradaban manusia dunia Islam. Kedua, pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan, maka kurikulum pengajarannya setidaknya memiliki orientasi terhadap dinamika kekinian. Sebab inilah, perlu dibangun sistem kelembagaan dan pendidikan pesantren yang lebih memberdayakan sumber daya manusia agar siap menghadapi gejala modernitas.
Dengan demikian di era globalisasi, menurut penulis pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan syiar Islam harus mempunyai tujuan praktis dan ideologis. Tujuan praktis adalah menghasilkan generasi Islam yang tidak hanya pintar beribadah secara vertikal, namun cerdas secara horizontal. Kecerdasan ibadah horizontal di sini tidak hanya berkaitan dengan perintah ibadah rutin seperti zakat, Korban, Aqiqoh, shodaqoh, dan infaq. Namun pesantren juga mampu menciptkan generasi yang memiliki semangat dalam mengkaji ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial serta senantiasa bermusyawarah dalam memecahkan masalah untuk kemaslahatan umat. Yang kedua tujuan ideologis, sudah sepatutnya pesantren sebagai pilar utama pembentukan aqidah dan ketauhidan bagi generasi selanjutnya harus mampu menghasilkan generasi yang memiliki kemantapan dalam bertauhid yang menguasai ilmu pengetahuan umum. Sehingga kedepannya diharapkan pesantren mampu mencetak generasi beriman yang berilmu dan berwawasan luas. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah langkah konkrit pesantren dalam menghadapi era globalisasi sebagai respon dari fenomena umat Islam di dunia global yang semakin tertinggal dari segi ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Sebagai contoh orang Islam yang menguasi ilmu Kesehatan ia akan senantiasa memegang tradisi Islam, menjadi ahli Kesehatan yang berkarakter Islam, yang tidak hanya memunculkan simbol-simbol Islam saja dalam berkarier di dunia Kesehatan. Jika ini bisa berjalan sesuai dengan semestinya maka tujuan pendidikan pesantren untuk menciptakan kultur Islami bisa tercapai.
Di samping itu, pendidikan pesantren seharusnya tidak hanya mengantarkan santrinya untuk menguasai berbagai ajaran yang ada pada Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan pesantren menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotornya. Sehingga, tujuan pendidikan pesantren dapat tercapai, yakni terbentuknya santri yang memiliki akhlak mulia .











Tidak ada komentar:
Posting Komentar