Pendidikan dalam Sekolah
2.1 Kejiwaan Anak dalam Usia Sekolah
Setiap orang tua pasti menginginkan sutu perkembangan yang baik dalam fase hidup anak-anaknya, baik berupa fisik maupun kejiwaan. Memang secara tampilan, perkembangan fisik terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan kejiwaan. Bahkan terkadang kita perlu lebih awas dalam memperhatikan perkembangan kejiwaan anak karena nantinya hal tersebut akan berhubungan dengan pembentukan identitas diri dan kepribadian anak tersebut. Lebih lanjut, kita akan mendiskusikan mengenai perkembangan kejiwaan anak secara detil , khususnya usia anak pra sekolah (mulai dari usia 4 tahun) sampai dengan masa sekolah (usia 12 tahun / sebelum pubertas).
1) Konsep Diri
Pada usia 4 tahun, anak-anak berusaha mendefinisikan dirinya menjadi lebih komprehensif sebagaimana mereka mulai mengidentifikasikan sekelompok karakteristik untuk menggambarkan dirinya masing-masing. Umumnya, mereka lebih banyak bercerita tentang hal konkret, perilaku yang diamati, karakteristik eksternal seperti penampilan fisik, kesenangan, kepemilikan, dan anggota keluarga yang tinggal serumah. Mereka juga akan menggambarkan dirinya seringkali dengan apa yang mereka pikirkan mengenai dirinya sendiri, nyaris tak dapat dipisahkan dari apa yang mereka lakukan sehari-hari.
Berikut ini, analisis dilakukan berdasarkan neo Piaget yang dapat menggambarkan perkembangan anak-anak dalam 3 tahap, dimana perkembangan tersebut membentuk peningkatan yang berkelanjutan, yaitu:
Tahap I : Pada usia 4 tahun, anak-anak menyatakan dirinya sendiri adalah representasi tunggal dimana hanya mencakup satu dimensi saja. Pemikiran mereka seringkali berpindah-pindah dari satu hal ke hal lainnya, tanpa terhubung secara logis. Pada tahap ini, ia tidak dapat membayangkan bahwa ia memiliki dua emosi pada waktu yang sama karena dasar pemikirannya adalah all or nothing.
Tahap II : Berlanjut pada usia 5 sampai 7 tahun dimana anak-anak mulai menghubungkan satu aspek dari dirinya dengan hal lain. Mereka melakukan pemetaan representasi dengan membentuk hubungan antara bagian dari pandangan dirinya terhadap dirinya sendiri – masih diekspresikan dalam hal positif, yaitu all or nothing. Oleh karena baik dan buruk itu berlawanan, maka mereka tidak melihat bagaimana mereka bisa baik dalam beberapa hal dan tidak pada hal lainnya.
Tahap III : Terjadi pada usia sekolah (7 – 12 tahun), dimana anak-anak mulai melakukan sistem representasi. Mereka mulai mengintegrasikan hal-hal yang spesifik ke dalam hal-hal general (konsep multidimensi). Di sisi lain, konsep pemikiran all or nothing semakin berkurang dan penggambaran diri anak menjadi lebih seimbang.
2) Memahami Emosi Anak
Anak-anak mengetahui sesuatu mengenai perasaan mereka tetapi mereka harus banyak belajar. Oleh karena itu, dengan memahami emosi mereka sendiri akan membantu anak-anak untuk mengontrol cara mereka menunjukkan perasaannya dan menjadi sensitif terhadap perasaan orang lain. Permasalahan yang muncul menjadi dua dimensi, yaitu kualitas emosi dan target di depan yang dituju. Penelitian Harte & Buddin, 1987, menyatakan bahwa anak-anak secara bertahap mendapatkan suatu pengertian mengenai emosi secara simultan antara usia 4 sampai 12 tahun (Harter, 1996) sebagaimana mereka bergerak melalui 5 level perkembangan, yaitu:
Level 0 : Pada awalnya, anak-anak tidak mengerti bahwa perasaan dapat muncul secara bersamaan pada waktu yang sama. Anak-anak yang berada pada tahap representasi tunggal dapat berkata, “Kamu tidak bisa memiliki dua perasaan pada waktu yang sama karena kamu hanya memiliki satu pikiran!”
Level 1 : Anak-anak mulai mengenmbangkan kategori yang berbeda – emosi positif dan negatif – dan dapat membedakan emosi dalam setiap kategori, seperti senang dan bahagia, atau marah dan sedih. Mereka dapat menyadari keberadaan dua emosi pada waktu yang bersamaan tetapi hanya jika keduanya positif atau negatif serta terarah pada target yang sama. Anak pada level ini tidak dapat mengerti kemungkinan merasakan emosi simultan dalam menghadapi dua orang yang berbeda atau merasakan emosi yang berbeda pada orang yang sama.
Level 2 : Anak mampu dalam pemetaan representasi dimana dapat menyadari dirnya memiliki dua perasaan yang terarah pada target yang berbeda. Tetapi mereka tetap saja tidak dapat mengalami dirinya memiliki perasaan-perasaan yang berbeda.
Level 3: Anak yang telah mengembangkan sistem representasidapat mengintegrasikan emosi positif dan negatif. Mereka mulai dapat mengerti bahwa mereka bisa memiliki perasaan yang berbeda pada waktu yang sama, tetapi hanya jika terarah pada target yang berbeda sehingga mereka tidak dapat menyadari dirinya memiliki perasaan positif dan negatif terhadap keduanya.
Level 4 : Anak-anak dapat menggambarkan perasaan-perasaan yang berbeda terhadap target yang sama.
3) Perkembangan Psikososial
Selain konsep diri dan perkembangan emosi, kita juga dapat melihat dari perkembangan psikososial. Dari berbagai ahli yang menyusun teori tentang tingkat perkembangan anak, Erick Erickson adalah salah satu ahli yang mengkhususkan diri dalam perkembangan kejiwaan sosial manusia. Ia mengembangkan teorinya dengan membuat delapan tahap psikososial yang mencakup seluruh rentang kehidupan, meneliti perkembangan identitas, dan mengembangkan metode yang berbeda dari seting psikoanalitik terstruktur yang digunakan dengan orang dewasa. Tiap tahapan ini dibangun berdasarkan tahap sebelumnya dan mempengaruhi pembentukan tahap yang berikutnya.
Penitikberatan teori Erickson sendiri terletak pada pencarian identitas. Identitas adalah pemahaman dan penerimaan diri dan masyarakat. Sepanjang hidup kita akan bertanya “Siapakah saya?” dan merangkai jawaban berbeda pada setiap tahap. Begitu juga masalah identitas selalu mmuncul sepanjang hidup manusia walaupun dalam skala yang amat kecil.
Bila dilihat dari range usianya khususnya usia 4 sampai 12 tahun, maka dalam tahapan psikososial Erickson dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap 3 ; Initiative Vs Guilt.
Ketika seorang anak berada pada usia 4 sampai 5 tahun, mereka mulai belajar dari orang-orang di sekelilingnya. Mereka mengenali orang tua mereka sebagai sosok yang berkuasa dan kuat. Mereka juga mencontoh apa yang dilakukan orang tuanya. Kemampuan berinisiatif dalam mengambil keputusan untuk mencapai target dan kompetisi juga mulai timbul dalam pikiran mereka. Hal ini didukung oleh kemajuan alat gerak, bahasa, kognisi, dan kreatifitas. Apabila mereka bisa memecahkan suatu masalah, maka inisiatif akan timbul dalam diri anak tersebut sedangkan apabila sebaliknya maka akan timbul perasaan bersalah. Pada tahap ini, anak telah belajar bahwa ia harus bekerja keras untuk mencapai tujuannya (Wrightsman, 1994).
Tahap 4 ; Industry Vs Inferiority
Tahap ini terjadi pada usia 6 tahun samapai mereka memasuki masa pubertas, dimana pada usia ini mereka mulai sekolah dan menjadi ahapan yang lebih besar bagi pengetahuan dan pekerjaan mereka. Mereka mulai memasuki tahapan baru dimana mereka mulai diperkenalkan dengan sistem pendidikan formal dan teknologi baru yang digunakan dalam kegiatan sekolah. Apabila seseorang bisa melalui tahapan ini maka akan timbul sense of industry, seperti perasaan mampu dan menguasai sesuatu. Sedangkan apabila gagal maka akan mucul perasaan ketidakcukupan dan rendah diri.
2.2 Pendidikan Intelektual di Lingkungan Sekolah
Pendidikan diambil dari kata dasar ‘didik’, yang didalamnya terdapat arti yang luas yaitu; transformasi intelektual, transformasi nilai-nilai moral dan kespiritualitasan. Mendidik tidak sama dengan mengajar. Mendidik lebih luas, terus menerus dan didalamnya juga terdapat proses mengajar. Mengajar hanya sebuah transfer ilmu dan pengetahuan dari seorang pengajar dan yang belajar. Sedangkan mendidik lebih memerlukan keteladanan dari pendidik, contoh nyata, serta pengarahan kepada anak didik yang berlangsung kontinyu dan selamanya. Jadi mendidik lebih berorientasi pada proses, bukan hasil. Pendidik yang utama ialah seorang ibu, lalu ayah, lalu lingkungan keluarga, dan sekolah. Banyak sekali terdapat para pengajar, namun sangat sedikit seorang pendidik.
2.3 Fungsi dan Organisasi Sekolah
Organisasi Siswa Intra Sekolah (disingkat OSIS) adalah suatu organisasi yang berada di tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari Sekolah Menengah yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). OSIS diurus dan dikelola oleh murid-murid yang terpilih untuk menjadi pengurus OSIS. Biasanya organisasi ini memiliki seorang pembimbing dari guru yang dipilih oleh pihak sekolah.
Anggota OSIS adalah seluruh siswa yang berada pada satu sekolah tempat OSIS itu berada. Seluruh anggota OSIS berhak untuk memilih calonnya untuk kemudian menjadi pengurus OSIS.
Secara umum adalah kelompok kerjasama antara pribadi yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi dalam hal ini dimaksudkan sebagai satuan atau kelompok kerjasama para siswa yang dibentuk dalam usaha mencapai tujuan bersama, yaitu mendukung terwujudnya pembinaan kesiswaan.
• Siswa, adalah peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah.
• Intra, berarti terletak didalam dan diantara. Sehingga suatu organisasi siswa yang ada didalam dan dilingkungan sekolah yang bersangkutan.
• Sekolah adalah satuan pendidikan tempat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, yang dalam hal ini Sekola Dasar dan Sekolah Menengah atau Sekolah/Madrasah yang sederajat.
Salah satu ciri pokok suatu organisasi ialah memiliki berbagai macam fungsi. Demikian pula OSIS sebagai suatu organisasi memiliki pula beberapa fungsi dalam mencapai tujuan.
Sebagai suatu organisasi perlu pula diperhatikan faktor – faktor ayng sangat menentukan agar OSIS sebagai organisasi tetap hidup dalam arti memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan perkembangan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan itu, antara lain, adalah :
1. Sumber daya
2. Efisiensi
3. Koordinasi kegiatan sejalan denagn tujuan.
4. Pembaharuan.
5. Kemapuan Beradaptasi dengan lingkungan luar
6. Terpenuhinya fungsi dan peran seluruh komputer
Berdasarkan prinsip - prinsip organisasi tersebut, agar OSIS selalu dapat mewujudkan peranannya sebagai salah satu jalur pembinaan kesiswaan, perlu dipahami apa arti, peran, dan manfaat OSIS.
Sebagai salah satu jalur dari pembinaan kesiswaan, fungsi OSIS adalah :
1. Sebagai Wadah.
Organisasi Siswa Intra Sekolah merupakan satu - satunya wadah kegiatan para siswa di sekolah bersama dengan jalur pembinaan yang lain untuk mendukung tercapainya tujuan pembinaan kesiswaan.
Oleh sebab itu OSIS dalam mewujudkan fungsinya sebagai wadah dan wahana harus selalu bersama - sama dengan jalur yang lain, yaitu latihan kepemimpinan, ekstrakurikuler dan wawasan wiyata mandala. Tanpa saling bekerjasama dari bebagai jalur, peranan OSIS sebagai wadah tidak akan berfungsi.
2. Sebagai Motivator.
Motivator adalah perangsang yang menyebabkan lahirnya keinginan dan semangat para siswa untuk berbuat dan melakukan kegiatan bersama dalam mencapai tujuan.
OSIS akan tampil sebagai penggerak apabila para pembina, pengurus mampu membawa OSIS selalu dapat menyesuaikan dan memenuhi kebutuhan yang diharapkan, yaitu; menghadapi perubahan, memiliki daya tangkal terhadap ancaman, dan memanfaatkan peluang dan perubahan, dan yang penting memberikan kepuasan kepada anggota.
Dengan bahasa manajemen OSIS mampu memainkan fungsi inteleknya, yaitu kemampuan para pembina, pengurus dalam mempertahankan, meningkatkan keberadaan OSIS baik secara internal maupaun eksternal. Apabila OSIS dapat berfungsi demikian sekaligus OSIS berhasil menampilkan peranannya sebagai motivator.
3. Sebagai Preventif
Apabila fungsi yang bersifat intelek dalam arti secara internal, OSIS dapat menggerakkan sumber daya yang ada dan secara eksternal OSIS mampu mengadaptasi dengan lingkungan, seperti menyelesaikan persoalan perilaku menyimpang siswa dan sebagainya. Dengan demikian secara preventif OSIS ikut mengamankan sekolah dari segala ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar. Fungsi preventif OSIS akan terwujud apabila fungsi OSIS sebagai pendorong lebih dahulu harus dapat diwujudkan.
Melalui fungsi OSIS tersebut dapat ditarik beberapa manfaat sebagai berikut:
• Meningkatkan nilai – nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
• Mengingkatkan kesadaran berbangsa, bernegara, dan cinta tanah air.
• Meningkatkan keperibadian dan budi pekerti luhur.
• Meningkatkan kemampuan berorganisasi, pendidikan politik, dan kepemimpinan.
• Meningkatkan keterempilan, kemandirian, dan percaya diri.
• Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani..
• Menghargai dan mewujudkan nilai – nilai seni, meningkatkan dan mengembangkan kreasi seni.
2.4 Peranan Guru dan Orang Tua dalam Pendidikan Sekolah
1) Peranan guru
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Efektivitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
a. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
b. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
c. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
d. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
e. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
a. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
b. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
c. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
2) Peran orang tua
Beberapa peneliti mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah berpengaruh positif pada hal-hal berikut:
• Membantu penumbuhan rasa percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri
• Meningkatkan capaian prestasi akademik
• Meningkatkan hubungan orang tua-anak
• Membantu orang tua bersikap positif terhadap sekolah
• Menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap proses pembelajaran di sekolah
Pihak sekolah dapat menyiapkan beberapa metoda untuk dapat melibatkan orang tua pada pendidikan anak, diantaranya dengan:
• Acara pertemuan guru-orang tua
• Komunikasi tertulis guru-orang tua
• Meminta orang tua memeriksa dan menandatangani PR
• Mendukung tumbuhnya forum orang tua murid yang aktif diikuti para orang tua
• Kegiatan rumah yang melibatkan orang tua dengan anak dikombinasikan dengan kunjungan guru ke rumah
• Terus membuka hubungan komunikasi (telepon, sms, e-mail, portal interaktif dll)
• Dorongan agar orang tua aktif berkomunikasi dengan anak











Tidak ada komentar:
Posting Komentar