ISLAM MASUK KE NUSANTARA
1. Sejarah Islam masuk ke nusantara
Menurut pendapat salah satu ahli sejarah islam, Agama Islam masuk di Nusantara sekitar abad VII dan VIII masehi. Hal ini didasarkan kepada berita cina yang menceritakan renacana serangan orang-orang Arab. Dinasti Tang di Cina juga memberitakan bahwa di Sriwijaya sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan hubungan dagang dengan cina. Pendapat lainnya mengatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke 13, hal ini di dasarkan pada dugaan keruntuhan Dinasti Abasiyah (1258 M), berita Marcopolo (1292 m), batu nisan Sultan Malik As Saleh (1297), dan penyebaran ajaran tasawuf. Agama Islam masuk di nusantara dibawa oleh para pedagang muslim melalui dua jalur, yaitu jalur utara dan jalur selatan. Melalui jalur utara dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (pantai barat India) – Nusantara. Melalui jalur selatan dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) – Yaman - Gujarat (pantai barat India) – Srilangka–Nusantara. Cara penyebaran Islam di Nusantara dilakukan melewati berbagai jalan diantaranya adalah melalui:
a. Perdagangan
Para pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara pada abad ke-7 samapai abad ke 16. Para pedagang muslim itu akhirnya singgah juga di Indonesia , dan ternyata yang mereka lakukan bukan hanya berdagang, tetapi juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Saat berdagang mereka menunjukan pribadi muslim yang baik, berbudi luhur, jujur, amanah, dan dapat dipecaya. Hal tersebut menjadi daya tarik yang utama sehingga banyak orang yang sukarela masuk Islam tanpa paksaan.
b. Hubungan Sosial
Para mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantara ternyata tidak hanya aktif berdagang, merekapun aktif dalam kegiatan sosial yang ada di lingkungan mereka tinggal, bahkan sebagain dari mereka ada yang menetap di lingkungan tersebut karena mereka menikah dengan penduduk setempat. Banyak hal yang dilakukan para mubaligh dalam kegiatan kemasyarakatan,merekapun mengajarkan tentang persamaan hak tidak ada perbedaan satu sama lainnya karena kemulaian manusia tidak ditentukan oleh kastanya kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Islam mengajarkan agar umatnya saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah, dan sebagainya. Sehingga dengan ajaran ini menyebabkan Islam semakin mudah diterima masyarakat karena ajarannya sangat luhur.
c. Pendidikan dan Pengajaran
Ajaran Nabi Muhammad SAW. Tentang “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”, menjadi motivator para mubaligh Islam pada saat itu untuk semakin bersemangat menyempaikan ajaran Islam. Disetiap kesempatan para mubaligh menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat sekitar melalui pendidikan dan pengajaran dengan menggunakan mushala, rumah salah seorang warga, bahkan tempat terbuka seperti di bawah pohon rindang sebagai tempat untuk menyampaikan dakwahnya.
2. Teori Tentang Kedatangan Islam Ke Nusantara
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi:
a. Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
b. Teori Gujarat
Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad SAW yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif” di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
c. Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.
d. Teori Cina
Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.
Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut.
KONDISI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Keadaan kerajaan-kerajaan islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 ke indonesia berbeda-beda bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses islamisasinya.
Di Sumatera, setelah malaka jatuh ketangan portugis percaturan politik di kawasan selat malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, Portugis, dan Johor. Pada abad ke16 tampaknya aceh menjadi dominan terutama karena para pedagang muslim menghindar dari malaka dan memilih aceh sebagai pelabuhan transit. Selain itu ekspansi aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera. Ketika itu aceh memang sedang berada dalam masa kejayaan dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Dan ketika sultan iskandar muda telah wafat kemudian di gantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran aceh. Setelah ia meninggal dunia aceh secara berturut-turut di pimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Ketika itulah aceh mulai mengalami kemunduran.
Di jawa, pusat kerajaan islam sudah pindah dari pesisir kedalam, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah islam di Jawa.
Sementara itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan adanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik mataram dan munculnya makasar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Di sulawesi, pada akhir ke 16 pelabuhan makasar berkembang dengan pesat akan tetapi ada factor historis lain yang mempercepatperkembangan.
Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda.
TASAWUF DAN ISLAM DI INDONESIA
Di dalam seminar internasional tentang “Melacak Jejak Tasawuf Falsafi di Indonesia”, yang digelar Pusat Studi Jepang, UI, bekerjasama dengan ISIP dan ICAS, maka ada suatu hal yang sangat menarik, yaitu ketika Prof. Dr. Abdul Hadi WM, mengungkapkan bahwa mustahil mempelajari budaya dan mengembangkan budaya Indonesia tanpa mempelajari tasawuf. Baginya, tasawuf merupakan bagian penting bagi masyarakat Indonesia. Tasawuf tidak akan bisa dilepaskan dari pemikiran dan praksis keagamaan di Indonesia. Jika kita ingin mempelajari budaya Nusantara atau budaya Indonesia, maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari tradisi tasawuf di Indonesia.
Tasawuf memang telah menjadi kenyataan empiris semenjak pertama Islam memasuki kawasan Nusantara. Islam yang memasuki kawasan Nusantara adalah Islam dalam coraknya yang tasawuf tersebut. Berdasarkan kajian para ahli sejarah, bahwa di abad ke 13 telah terdapat kelompok-kelompok Islam yang berada di Nusantara dan membentuk suatu komunitas yang mengamalkan Islam dalam coraknya yang sufistik tersebut.
Pemikiran keislaman juga menjadi semarak melalui perdebatan-perdebatan yang khas di antara kaum tasawuf dan kaum sunni-ortodoks. Semenjak ditemukannya kitab-kitab yang ditulis oleh Kaum Sufi, misalnya Kitab Bahrul Lahut karya Syekh Abdullah Arif abad ke 13, maka sesungguhnya pemikiran keagamaan Islam di Indonesia sudah berjalan dengan sangat maju. Pendakwah yang tinggal di Samudra Pasai ini telah meninggalkan karya yang sangat penting dalam pemikiran Islam tasawuf yang sangat mendalam. Jadi sudah ada karya yang menonjol tentang taswauf sebelum perdebatan antara Hamzah Fansuri atau Syamsudin Sumatrani dengan Nuruddin Arraniri.
Perdebatan-perdebatan yang didasari oleh pemahaman keagamaan di kala itu tentu membuktikan bahwa dinamika pemikiran keagamaan dan praksis ritual keagamaan memang sudah menjadi tradisi di kalangan para ulama dan masyarakat kita. Jadi, pertentangan pemikiran di dalam kehidupan keagamaan bukanlah sesuatu yang terjadi belakangan, akan tetapi telah menjadi ruh kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia semenjak lama.
Benturan pemikiran keagamaan tentu bukan akhir segalanya. Benturan pemikiran keagamaan antara kaum Sunni-ortodoks dengan kaum tasawuf, terutama tasawuf falsafi, telah menjadi kelaziman semenjak awal. Islam memang dipahami dalam coraknya yang bervariasi. Tasawuf falsafi yang di dalam banyak hal dinisbahkan dengan nama Ibnu Arabi, Al Hallaj, Abu Yazid Bustami dan sebagainya, memang berbenturan dengan pemikiran keagamaan yang lebih puris yang diusung oleh kaum Sunni-ortodoks. Benturan pemikiran ini justru menandakan bahwa Islam memiliki dinamika yang sangat baik di masa yang lalu.
Islam dalam coraknya yang sufistik memang memberikan sarana adaptasi yang tinggi bagi proses Islamisasi di Nusantara. Masyarakat Nusantara yang memiliki religiositas yang yang cenderung kepada religi yang esoteric tentu sangat cocok didekati dengan Islam dalam coraknya yang sufistik ini. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Islam yang puristik bisa mengembangkan keislaman masyarakat Nusantara. Islam yang orotodoks tentu akan ditolak oleh masyarakat Nusantara yang keberagamaannya bercorak esoteric tersebut.
Oleh karena itu, berbicara tentang pemikiran dan praksis keberagamaan masyarakat Indonesia tidak akan bisa dilepaskan dengan kehidupan tasawuf di Nusantara. Islam di Indonesia bisa menjadi seperti ini, adalah berkat usaha para pendakwah-sufi yang telah mendarmabaktikan dirinya bagi islamisasi di Indonesia.
Di sinilah arti pentingnya untuk mempelajari secara mendasar tentang tradisi kaum sufi terutama karya klasiknya sebagai dasar pijakan bagi pengembangan pemikiran Islam Indonesia. Karya-karya keagamaan kaum sufi tersebut sesungguhnya bisa menjadi referensi di dalam membincang tentang Islam Indonesia. Jangan sampai kemudian kita melupakan karya-karya keislaman kaum sufi disebabkan adanya anggapan bahwa kaum sufi tersebut adalah kaum heterodoks.
Dari berbagai kajian ternyata bahwa mereka yang dianggap sebagai sesat oleh kelompok Islam lainnya, dalam banyak hal justru difasilitasi oleh dunia kekuasaan yang memang selalu menyediakan ruang untuk melakukan tindakan yang menghakimi. Para ahli tasawuf falsafi tersebut ternyata adalah kaum sunni yang memang memiliki pengalaman beragama yang berbeda dengan kaum kebanyakan, sehingga membentuk pengalaman keagamaan yang khas tasawuf.
SEBAB-SEBAB ISLAM CEPAT BERKEMBANG DI INDONESIA
Ada beberapa hal yang menyebabkan agama Islam cepat berkembang di Indonesia. Menurut Dr. Adil Muhyidin Al-Allusi, seorang penulis sejarah Islam dari Timur Tengah, menyatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan Islam cepat berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Agama
Faktor agama, yaitu akidah islam itu sendiri dan dasar-dasarnya yang memerintahkan menjunjung tinggi kepribadian dan meningkatkan harkat dan martabatnya, menghapuskan kekuasaan kelas rohaniwan seperti Brahmana dalam system kasta yang diajarkan Hindu. Masyarakat yang diyakinkan bahwa dalam Islam semua lapisan masyarakat sama kedudukannya, tidak ada yang lebih utama dalam pandangan Allah kecuali karena taqwanya. Mereka juga sama didalam hukum, tidak ada yang diistemewakan meskipun ia keturunan bangsawan. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara, bergotong royong, saling menghargai, saling mengasihi, bersikap adil, sehingga toleransi Islam merupakan ciri utama bangsa ini yang di kenal dunia dewasa ini. Selain itu akidah sufi kaum muslimin juga ikut membantu memasyarakatkan Islam di Indonesia, karena memiliki banyak persamaan dengan kepercayaan kuno Indonesia, yang cenderung menghargai pada pandangan dunia mistik. Seperti kepercayaan pada tiga dewa, yaitu dewa kecantikan, kemahiran, dan kesenian, yang diwariskan Hindu yang dasarnya menganut animisme.
2. Faktor Politik
Faktor politik yang diwarnai oleh pertarungan dalam negeri antara negara-negara dan penguasa-penguasa Indonesia, serat oleh pertarungan negara-negara bagian itu dengan pemerintah pusatnya yang beragama Hindu. Hal tersebut mendorong para penguasa, para bangsawan dan para pejabat di negara-negara bagian tersebut untuk menganut agama Islam, yang di pandang mereka sebagai senjata ampuh untuk melawan dan menumbangkan kekuatan Hindu. Hal itu dapat di buktikan hingga kini, bahwa apabila semangat keislaman dibangkitkan ditengah-tengah masyarakat Indonesia, baik di Sumatera, Jawa maupun kepulauan Indonesia lainnya, dengan mudah sekali seluruh kekuatan dan semangat keislaman itu akan bangkit serentak sebagai suatu kekuatan kekuatan yang dahsyat.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomis yang pertama diperankan oleh para pedagang yang menggunakan jalan laut, baik antar kepulauan Indonesia sendiri, maupun yang melampaui perairan Indonesia ke Cina, India, dan Teluk Arab/Parsi yang merupakan pendukung utamanya, karena telah memberikaan keuntungan yang tidak sedikit sekaligus mendatangkan bea masuk yang besar bagi pelabuhan-pelabuhan yang disinggahinya, baik menyangkut barang-barang yang masuk maupun yang keluar. Ternyata orang-orang yang terlibat dalam perdagangan itu bukan hanya para pedagang, tetapi dianatara mereka terdapat para penguasa negara-negara bagian, pejabat negara dan kaum bangsawan. Karena perdagangan melalui lautan Indonesia dan India hampir seluruhnya dikuasai pedagang arab, maka para pedagang Indonesia yang terdiri dari para pejabat dan bangsawan itu, yang bertindak sebagai ageb-agen barang Indonesia yang akan dikirim ke luar dan sebagai penyalur barang-barang yang masuk ke Indonesia, banyak berhubungan dengan para pedagang muslim Arab yang sekaligus mengajak mereka.
Dalam waktu yang relative cepat, ternyata agama Islam dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia, mulai dari rakyat jelata hingga kaum bangsawan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan agama Islam dapat berkembang cepat di Indonesia. Di antaranya sebagai berikut:
a. Syarat untuk masuk agama Islam sangatlah mudah. Seseorang hanya butuh mengucapkan kalimat syahadat untuk bisa secara resmi menganut agama Islam.
b. Agama Islam tidak mengenal system pembagian masyarakat berdasarkan kasta. Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal adanya berbedaan golongan dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakta mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba Allah SWT.
c. Penyebaran agama Islam dilakukan dengan jalan yang relative damai (tanpa melalui kekerasan).
d. Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah member peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan yang erat itu kemudian terjadi saling mempengaruhi dan saling pengertian.
e. Upacara-upacara keagamaan dalam Islam lebih sederhana.
Faktor-faktor di atas didukung pula dengan semangat para penganut Islam untuk terus menyebarkan agama yang telah dianutnya, karena bagi penganut agama Islam, menyebarkan agama Islam adalah merupakan sebuah kewajiban.
Faktor ini telah sering dikemukakan banyak ahli, khususnya al-Attas. Bahkan Al-Attas dengan terlalu bersemangat menyimpulkan bahwa pengenalan kebudayaan peradaban literasi ini telah memunculkan semangat rasionalisme dan intelektualisme bukan saja dikalangan keraton atau istana, tetapi juga dikalangan rakyat jelata.
KESULTANAN DI LUAR INDONESIA
1. Kesultanan Kelantan, Malaysia
Kelantan adalah negara bagian Malaysia yang terletak di bagian utara Peninsula Malaya. Negara bagian ini berbatasan langsung dengan Propinsi Narathiwat di Thailand selatan. Di masa lalu, Kelantan berganti-ganti dikuasai oleh Kerajaan Funan, Kekaisaran Khmer, dan Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya mencaplok Kelantan bersamaan dengan dikuasainya Kerajaan Pattani di Thailand. Bersama Pahang dan Pattani, Kelantan menjadi kunci pengaruh Sriwijaya di Peninsula Malaya dan Selat Malaka.
2. Kesultanan Pahang, Malaysia
Pahang adalah negara bagian terluas ketiga di Malaysia setelah Sarawak dan Sabah, serta negara bagian terluas di Malaysia bagian barat. Pahang menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya di abad ke-8 dan 9. Penguasaan Pahang menjadi penting bagi Sriwijaya karena daerah ini meliputi sebagian besar Peninsula Malaya bagian selatan. Pahang lepas dari kekuasaan Sriwijaya seiring dengan runtuhnya kerajaan Buddha tersebut di awal tahun 1000 Masehi. Pahang lantas menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit, Kerajaan Siam, dan kemudian Kesultanan Malaka.
3. Kerajaan Pattani, Thailand
Pattani adalah sebuah kesultanan Melayu yang menguasai wilayah di selatan Thailand–yakni daerah yang kini menjadi propinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat, serta sebagian wilayah Malaysia utara. Kerajaan ini adalah kelanjutan dari Kerajaan Langkasuka yang didirikan pada abad kedua Masehi.
Langkasuka mencapai masa keemasan pada abad ke-6 dan ke-7, namun invasi yang dilancarkan Kerajaan Chola di abad ke-11 melemahkan kerajaan ini. Pattani menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya pada kisaran abad ke-7 dan ke-8. Dikuasainya Pattani membuat Sriwijaya benar-benar mengontrol jalur perdagangan di Selat Malaka.
Sempat dikuasai Sriwijaya selama seabad tentu membuat Pattani dan juga Thailand mendapat pengaruh kebudayaan Sumatera. Lihat saja dandanan pakaian adat Thailand yang corak, asesoris, dan pemilihan warnanya sama persih dengan pakaian adat Sumatera Selatan, Jambi, atau Riau. Lalu bandara anyar Thailand diberi nama Shuvarnabhumi. Kita tentu ingat Pulau Sumatera pada masa lalu juga disebut sebagai Swarna Dwipa.
KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
1. Kerajaan Samudra Pasai
Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan social ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Atas dasar mata uang emas yang ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urutan-urutannya, sebagai berikut: Sultan Malik Al-Saleh yang memerintah sampai tahun 1207 M, Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326M), Mahmud Malik Al-Zahir (1326-1345 M), Manshur Malik Al-Zahir (1345-1346M), Ahmad Malik Al-Zahir (1346-1383M), Zain Al-Abidin Malik Al-Zahir (1383-1405M), Nahrasiyah (1402- ?), Abu Zaid Malik al-Zahir (?-1455 M), Nahrasiyah (1402- ?), Abu Zaid Malik Al-Zahir (?-1455M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477M), Zain Al-Abidin (1477-1500M), Abdulloh Malik Al-Zahir (1501-1513M), dan Sultan yang terakhir adalah Zain Al-Abidin (1513-1524M).
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1542 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524M dianeksasi oleh raja Aceh, Ai Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada dibawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Acer Darussalam.
2. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Kerjaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, diatas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497M). dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Menurut H.J. de Graaf, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637M). pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatra. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minang Kabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang dating, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung kepada bantuan Turki Usmani yang jaraknya jauh. Untuk mengalahkan Portugis, sultan kemudian bekerja sama dengan mush Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
3. Kerajaan Islam Demak
Sebagaimana telah disebutkan dalam bab terdahulu, perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerjaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah dalam menjalan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Wali Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vassal Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para wali.
4. Kerajaan Islam Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang merupakan kerajaan pertama yang terletak di daerah pedalama pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Kediaman penguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan mencontoh kraton Demak.
Pada tahun 1546, Sultan Demak meninggal dunia. Setelah itu, muncul kekacauan di ibu kota. Konon, Jaka Tingkir yang telah menjadi penguasa Pajang itu dengan segera mengambil alik kekuasaan, karena anak Sulung Sultan Trenggono yang menjadi pewaris tahta kesultanan, sesuhunan Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Aria Penangsang yang watku itu menjadi penguasa Jipang (Bojonegoro sekarang).
Setelah itu, ia memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa, ia bergelar Sultan Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman. Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa.
5. Kerajaan Islam Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pemanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang tersebut. Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pemanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577M, Ki Gede Pemanahan menempati istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh putranya, Senopati, tahun 1584 dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan kekuasan atas pajang kepada Senopati. Meskipun Senopati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, di antaranya Gong Kiai Skar Dlima, Kendali Kia Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jatayu, namun dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.
6. Kerajaan Islam Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati.
Diawal abad ke-16 Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di sana, bernama Pangeran Walasungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah ada di Ceribon sekitar 1470-1475 M. akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsa. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
7. Kerajaan Islam Banten
Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berad adibawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahanetn Girang. Nama ini didapat dihubungkand engan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barata pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1524, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam di sana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman di sana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.
8. Kerajaan Islam Di Kalimantan
Kalimantan terlalu luas untuk berada di bawah satu kekuasaan pada waktu datangnya Islam. Daerah barat laut menerima Islam dari Malaya, daerah timur dari Makasar dan wilayah Selatan dari Jawa.
Di kalimantan ada dua kerajaan islam yang berdiri, yaitu:
a. Kerajaan islam Banjar di Kalimantan Selatan
Tulisan-tulisan yang membicarakan tentang masuknya Islam di Kalimantan Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan Banjarmasin. Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana, antara pangeran Samudra sebagai pewaris sah kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika Raja Sukarama merasa sudah hamper tiba ajalnya, ia berwasia, agar yang menggantikannya nanti adalah cucunya Raden Samudera. Tentu saja keempat orang putranya tidak menerima sikap ayahnya itu, lebih-lebih Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan raja dipegang oleh anak tertua, Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun. Pangeran Mangkubumi tidak terlalu lama berkuasa. Ia terbunuh oleh seorang pegqawai istana yang berhasil dihasut Pangeran Tumenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumanggunglah yang tampil menjadi raja Daha.
Dalam pada itu, Pangaran Samudera berkelana ke wilayah muara. Ia kemudian diasuh oleh seorang patih, bernama Patih Masih. Atas bantuannya, Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan. Dalam serangan pertamanya, Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa, Gujarat, dan Malaka.
b. Kutai di Kalimantan Timur
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adlaah Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makassar, yang lainnya adalah Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu, Dato’ Ribandang kembali ke Makassqar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang terakhir inilah Raja Hahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama sekali mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang, dan akhirnya rakyat biasa.
Sejak itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam dengan pedang. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu puteranya, Aji di Langgar dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.
9. Kerajaan Islam Di Maluku
Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke-15. Sekitar tahun 1460, raja Ternate memeluk agama Islam. Namun raja itu adalah Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturunan ningrat dari Jawa. Namun, H. J. de Graaf berpendapat, raja pertama yang benar-benar Muslim adalah Zayn Al-“Abidin (1486-1500 M). Di masa itu, gelombang perdagangan Muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah kepada tekanan para pedagang Muslim itu dan memutuskan belajar tentang Islam pada Madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atau Raja Cengkeh, mungkin karena ia membawa cengkeh ke sana sebagai hadiah. Ketika kembali dari Jawa, ia mengajak Tuhubahahul ke daerahnya. Yang terakhir ini kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
10. Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo Soppeng dan Luwu) Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saing berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri Bandang dating ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk kerajaan ini. Alauddin (1591-1636) adalah sultan pertama yang menganut Islam tahun 1605.
Penyebaran Islam setelah itu berlangsung sesuai dengan tradisi yang telah lama diterima oleh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi itu mengharuskan seorang raja memberitahukan “hal baik” kepada yang lain. Karena itu, kerajaan kembar Gowa-Tallo menyampaikan “pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu segera menerima “pesan Islam itu”. Sementara itu, tiga kerajaan : Wajo, Soppeng dan Bone yang terikat dalam aliansi Tallumpoeco (tiga kerajaan) dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima Islam tanggal 10 ei 1610 dan Bone, saingan politik Gowa sejak pertengahan abad ke-16, tanggal 23 November 1611. Raja Bone pertama yang masuk Islam dikenal dengan gelar Sulthan Adam. Namun, meski sudah Islam, peperangan-peperangan antara dua kerajaan yang bersaing itu pada masa-masa selanjutnya masih sering terjadi dan bahkan, melibatkan Belanda untuk mengambil keuntungan politik daripadanya.











Tidak ada komentar:
Posting Komentar