FUNGSI BAHASA
1. Fungsi Komunikasi
Sudah dikemukakan bahwa bahasa adalah produk dan milik masyarakat. Warga masyarakat pasti memerlukan komunikasi antarwarga. Salah satu alat yang utama adalah bahasa. Karena itu dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Setelah itu bahasa diberi fungsi-fungsi lain oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Fungsi komunikasi memang bukan monopoli bahasa, bahkan bukan monopoli manusia. Binatang juga mempunyai alat untuk berkomunikasi. Kita melihat semut yang mampu mengumpulkan “pasukan” ke suatu tempat tertentu. Lebah dapat membentuk masyarakat dibawah pimpinan induk lebah di sarang dan sekian banyak lebah pencari bahan madu. Anjing yang dipelihara manusia di rumah, pada suatu malam mungkin menggonggong untuk mengingatkan tuannya akan adanya orang yang datang bertamu atau adanya pencuri, atau mungkin menggaruk-garuk daun pintu untuk meminta masuk ke dalam rumah.
Manusia sejak lama mengenal bunyi untuk berkomunikasi. Dalam film cerita tentang orang-orang primitif (Indian, Afrika) kita mengenal siulan atau teriakan (atau suara-suara lain yang bisa diproduksi oleh mulut) sebagai alat komunikasi. Masyarakat kita mengenal kentungan, bahkan sampai sekarang. Pada zaman modern kita mengenal bunyi sirene untuk ambulan atau petugas jalan raya dan polisi, sekadar untuk memberitahu kepada pendengarnya akan adanya ini atau itu. Semua ini untuk konsumsi indera pendengaran.
Untuk indera penglihatan, manusia mengenal beberapa alat komunikasi. Lampu suar di pantai atau di laut memberi tahu para pelaut akan adanya daratan atau kondisi laut tertentu. Di kota kita memakai lampu lalu lintas berwarna merah, hijau, dan kuning. Di kalangan pramuka kita juga mengenal sandi-sandi tertentu yang dapat dilihat.
Ketika manusia sudah mengenal tulisan, tampak komunikasi makin efektif. Dengan tulisan manusia tidak hanya mampu berkomunikasi dengan manusia lain yang masih hidup, dalam satu generasi, melainkan juga dengan generasi berikutnya. Dengan tulisan itu manusia generasi tua “menyimpan” bahasa, dan kelak, ketika mereka sudah lama meninggal, generasi-generasi muda dapat mengetahui apa yang dimaksudkan oleh nenek moyangnya. Maka, penemuan tulisan merupakan karya besar manusia yang patut dipuji.
Dari tulisan itu, manusia lalu menciptakan sandi-sandi “turunan kedua” (turunan pertama adalah dari bahasa lisan ke tulisan). Kita mengenal apa yang disebut sandi atau kode Morse, yang banyak dipakai di kalangan militer dan pelaut. Dalam sandi Morse itu huruf-huruf abjad itu disulih (diubah) menjadi bunyi “tut-tut-tut”. Kemudian kita mengenal huruf Braille yang dipakai oleh para tunanetra. Dalam huruf ini huruf-huruf abjad disulih menjadi “titik-titik” tonjolan di kertas yang dengan mudah dapat diraba oleh ujung jari.
Sayang sekali, tulisan itu mengandung kelemahan, yaitu tidak selalu mampu menggantikan bahasa lisan secara utuh dan tuntas. Meskipun tulisan itu kemudian dilengkapi dengan tanda-tanda baca yang lain (seperti titik, koma, tanda tanya, dan sebagainya) kelemahan itu tetap ada. Misalnya, tulisan tidak mampu merekam intonasi, jeda, tekanan kata, dan sebagainya. Suara-suara desis, decak, rintihan, dan sebagainya, juga tidak dapat disulih dengan tulisan secara tuntas.
Syukurlah, manusia kemudian mengenal alat perekam suara, sehingga bahasa lisan dapat disimpan dalam bentuk bunyi-bunyi sebagaimana aslinya, bukan dalam huruf atau gambar. Kemajuan manusia dalam ilmu dan teknologi kemudian menciptakan apa yang sering disebut “alat komunikasi” seperti telepon, telegram, teleks, faksimil, dan internet. Semua alat ini hakikatnya mengubah komunikasi tatap muka menjadi komunikasi jarak jauh, tetapi kuncinya tetap ada pada bahasa lisan.
2. Fungsi Kemasyarakatan
Fungsi komunikasi bahasa jelas merupakan fungsi dasar bahasa, atau fungsi alami (natural). Di dalam kajian sosiolinguistik, yang menghubungkan faktor-faktor sosial dengan unsur-unsur bahasa atau gejala bahasa, kita kemudian mengenal fungsi-fungsi lain yang seolah-olah “diberikan” manusia di luar fungsi komunikasinya. Di Indonesia kita mengenal ungkapan “bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa”, sebagai alat identitas bangsa yang berbeda dengan bahasa daerah yang menjadi alat identitas kedaerahan. Pada masa lampau bahasa Indonesia (BI), ketika masih bernama bahasa Melayu, sudah menjadi alat komunikasi antarsuku di Indonesia. Pada awal abad ke-20 BI “dipakai” oleh para pemimpin kita sebagai alat politik, yaitu alat perjuangan untuk mempersatukan bangsa kita (1928), dan fungsi itu dilanjutkan sampai sekarang. Konsekuensi dari pemungsian sebagai alat pemersatu itu orang Indonesia yang tadinya hanya mengenal bahasa daerahnya harus belajar BI, suatu hal yang tidak perlu dilakukan andaikata BI tidak diberi fungsi meyatukan bangsa.
Sebenarnya setiap bahasa alami, tiap bahasa ibu (yaitu bahasa yang kita kuasai sejak kecil) sudah membawa atau mengandung fungsi pemersatu dan fungsi identitas. Artinya, tiap bahasa yang dipakai sehari-hari oleh seorang penutur merupakan jati diri atau identitasnya. Maka, semua penutur asli (native speaker) bahasa Madura, misalnya, dipersatukan oleh bahasa itu dan kemudian disebut “orang Madura”. Akibatnya, seorang yang menyebut dirinya sebagai “orang Madura” dianggap kurang jika dia tidak mampu berbahasa Madura. Hanya saja perlu diingat bahwa fungsi pemersatu itu sekaligus juga mengandung fungsi pemisah (separatis). Artinya, sekali Anda berkata “ Saya orang Madura” dan dengan demikian juga penutur asli bahasa Madura, maka Anda sebenarnya sudah memisahkan diri dari orang-orang lain yang bukan anggota kelompok Madura. Anda memisahkan diri dari orang Bali, orang Jawa, orang Sunda, dan sebagainya. Bahasa memang milik kelompok dan menjadi identitas dari kelompok itu.
Dari kajian sosiolinguistik kita ketahui bahwa pengenalan terhadap seseorang, tepatnya terhadap identitas seseorang, dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan, terutama percakapan dengan orang atau kelompok lain. Seseorang bisa diterka sebagai orang Madura, oleh orang Jawa, misalnya dari intonasi tuturnya, meskipun orang tersebut bertutur dalam bahasa Indonesia. Orang Bali bisa diidentifikasi karena ucapan bunyi /T/ (pangkal gigi) untuk /t/ (dental). Orang Jawa bisa dikenali karena tuturnya yang amat lamban (dibandingkan dengan rata-rata ujaran orang Batak). Dalam hal seperti itu, yakni mengidentifikasi seseorang lewat ujaran atau tuturnya dalam bahasa kedua (dalam hal ini bahasa Indonesia), kita seperti tidak mengakui ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”. Namun, sebenarnya yang diidentifikasi ketika orang itu bertutur adalah ciri-ciri bahasa ibunya (dalam hal ini adalah bahasa daerahnya) yang dibawa oleh orang yang bersangkutan ketika prang itu bertutur dalam bahasa lain. Itu berarti, identitasnya sebagai orang daerah dan sebagai penutur bahsa asli dapat diketahui dari tuturnya dalam bahasa lain.
Jika, misalnya, orang Bali berbahasa Bali pun kita bisa mengidentifikasi asal-usul daerahnya, karena bahasa Bali mempunyai beberapa dialek geografis. Tiap-tiap dialek tertentu mempunyai ciri pembeda dengan dialek lain, sehingga penggunaan satu ciri saja dari dialek itu kita sudah bisa menetukan dari daerah mana dia berasal. Ciri itu bisa berupa sekadar intonasi atau lagu bicara, fonem, kata, atau frase.
Dibalik bahasa sebagai alat pemersatu, kita pun mengenal bahasa sebagai alat penjajahan. Di Indonesia, bahasa Belanda mempunyai fungsi seperti tiu di masa penjajahan, di India dan Malaysia bahasa Inggris, di beberapa negara Afrika bahasa Prancis, di negara-negara Amerika Latin bahasa Spanyol berfungsi sebagai bahasa penjajahan. Akibat dari fungsi itu pada masa lampau masih terasakan sampai sekarang di banyak negara. Di Afrika, misalnya, beberapa negara menjadikan bahsa Prancis sebagai bahasa nasional. Di India dan Filipina bahasa Inggris menjadi bahasa resmi. Berbeda dengan Indonesia, BI ternyata mampu diberi fungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi itu. Fungsi demikian tidak diberlakukan pada bahasa daerah: bahasa daerah tetap menjadi alat identitas suku.
Di samping itu semua, disadari atau tidak, bahasa juga berfungsi atau difungsikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, untuk menyerap dan mengembangkan ilmu dan teknologi, untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai sosial (social value), dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu dan teknologi, bahasa jelas sangat erat berkaitan dengan pikiran. Kalau Aristoteles berkata bahwa bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran, maka para perencana bahasa justru berpikir untuk bahasa dan pengembangannya. Bahkan kita mengenal apa yang disebut hipotesis Sapir Whorf (dari pakar bahasa Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf) yang mengatakan bahwa bahasa ibu menentukan struktur pikiran manusia penuturnya. Tidak hanya itu, bahasa menjadikan pikiran manusia “makin pandai”: bahasa meningkatkan kualitas pikiran dan logika manusia. Ini juga merupakan fungsi tersendiri bagi bahasa.
3. Fungsi-Fungsi Lain
Karl Bühler
Sarjana Jerman ini membedakan tiga fungsi bahasa (Kleden, 1987):
Appel, yaitu fungsi memerintah atau meminta kepada lawan bicara untuk melakukan sesuatu. Dalam bentuk yang paling sederhana fungsi ini tampak pada komandan pasukan yang memberi aba-aba “bersiap”. Contoh lain: instruksi pejabat, bahasa hukum (yang bisa memerintah dan melarang), dalam UU, PP, dan sebagainya.
Ausdrück, fungsi untuk mengungkapkan suasana hati penutur, jadi bukan untuk berkomunikasi. Contohnya: Aduh! Wauw!
Darstellung, bahasa berfungsi mengacu objek tertentu yang berada di luar diri penutur dan lawan tuturnya, fungsinya mengacu dan menjelaskan. Puncak bahasa jenis ini adalah bahasa analitis yang digunakan dalam ilmu.
Karl Raimund Popper
Filosof kenamaan ini mengemukakan empat fungsi bahasa, yakni:
Fungsi ekspresif, merupakan proses pengungkapan situasi dari dalam ke luar; merupakan ungkapan diri pribadi.
Fungsi sinyal, derajatnya lebih tinggi dari yang pertama, sekaligus mencakup fungsi ekspresif. Pada manusia, sinyal itu menyebabkan reaksi (pada lawan tutur)sebagai jawaban atas sinyal itu.
Fungsi deskriptif, mencakupi dua fungsi di atas, mengungkapkan pernyataan yang bisa benar atau salah.
Fungsi argumentative, menambah keterangan pada ketiga fungsi di atas, memberikan lasan atau argumen sebagai pembuktian yang menyatakan bahwa ungkapanyang disampaikan, dinyatakan, dikemukakan itu merupakan sinyal yang benar atau salah karena alasannya memang sah atau tidak sah.
John C. Concon Jr
J. C. Concon (1986) mengemukakan delapan fungsi komunikasi untuk apa yang selama ini yang kita sebut fungsi bahasa, sebagai berikut:
Membuka pembicaraan
Ujaran singkat, memberi salam, percakapan tanpa tujuan, merupakan contoh-contoh jenis komunikasi ini, yang oleh Malinowski disebut “basa-basi untuk membuka percakapan”, fungsinya untuk membuka saluran komunikasi. Dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang biasa membuka percakapan di tempat umum dengan berbicara tentang keadaan cuaca, “Oh nice day!” (Hari yang cerah); menyapa dengan Good Morning; menyebut How are you? ketika bertemu teman. Orang Indonesia sekarang mengenal juga salam seperti Selamat pagi; Apa kabar? Di terminal atau di stasiun ada ucapan Mau ke mana? Atau, Dari mana? Orang laki-laki biasa memulai komunikasi dengan menawarkan rokok, Merokok, Mas?
Membuka percakapan jelas merupakan fungsi sosial bahasa. Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu memerlukan orang lain. Karena itu, jika di suatu tempat dia tidak mempunyai teman atau kenalan, dia akan mencoba mencari kenalan, setidak-tidaknya mencari orang yang dapat diajak bicara. Untuk maksud itu, dia akan memulai berbicara, mungkin dengan menyatakan, seperti orang Barat, “Oh, nice day!”, dengan harapan ujarannya ditanggapi orang-orang di dekatnya, atau mungkin, seperti kebiasaan orang Indonesia, bertanya langsung kepada orang yang sudah ada di tempat itu. Kalau kebetulan di ruang tunggu dokter, dia akan bertanya, “Nomor berapa, Bu?” Ujaran tersebut sebenarnya cuma basa-basi saja agar bisa lebih lanjut bercakap-cakap. Dapat dipastikan, dia selanjutnya akan bertanya ini itu: sakit apa, tinggal dimana, dan seterusnya.
Menghindarkan komunikasi
Bertentangan dengan fungsi pertama adalah fungsi menghindarkan komunikasi ini. Orang kadang-kadang memang mencegah komunikasi, atau bermaksud menghentikan komunikasi dengan cara-cara tertentu agar lawan tutur tidak berbicara lagi. Kita dalam hal itu secara tidak langsung mengatakan, “Saya tak mau lagi berbicara dengan Anda” melainkan dengan cara seperti, misalnya, menanggapi dengan “Oh, ya?”, “Hmm”, “Masak?” Mungkin juga dengan berkata, “Maaf, saya ada acara lain.”
Mencatat dan meneruskan
Pada dasarnya individu itu bertindak seperti mesin yang berfungsi mencatat dan meneruskan berita. Salah satu definisi komunikasi adalah proses untuk meneruskan suatu informasi, kemudian meneruskan kepada orang lain. Begitulah bahasa.
Komunikasi instrumental
Jika kita mengatakan sesuatu dan sesuatu terjadi sebagai akibat ucapan kita itu, maka ucapan kita itu bersifat instrumental, menjadi instrumen (alat) penyebab terjadinya peristiwa itu. Fungsi instrumental semacam itu kita lihat, misalnya, pada perintah atau permintaan, “Tutup pintunya!” Atau berupa peringatan , “Hujan, hujan, lekas masuk!”, dan sorak-sorai penonton sepak bola, “Tembak, tembak, ayo tembaaaaak.”
Komunikasi afektif
Komunikasi yang beritanya merupakan perasaan emosional penutur terhadap lawan tutur disebut komunikasi afektif, misalnya pujian, rayuan, dan sebagainya. Contoh: “Wah, hebat kau!”, “Kau cakep kalau memakai baju ini.” Bahasa afektif juga sangat meyakinkan, kemudian menggerakkan lawan tuturnya: pedagang, secara langsung atau melalui iklan, meyakinkan calon pembeli (sekaligus membujuk), “Untuk Anda saya memberikan harga istimewa” atau “Kami lebih mementingkan kepuasan Anda.” Seorang dosen kepada mahasiswanya akan berujar, “Saya yakin penelitian Anda akan bagus hasilnya.” Kita lihat bahwa bahasa afektif bayak dipakai untuk komunikasi instrumental.
Melepaskan tekanan perasaan
Tahayul
Fungsi ritual
Tidak ada komentar:
Posting Komentar